Monumen Illegal Fishing di Pantai Pangandaran

Maaf Mba, batu-batu itu nggak boleh dibawa pulang, nanti bisa kesurupan. Kemarin ada orang dari Bandung kesurupan setelah mengambil batu dari sini, kata tukang perahu kepada salah seorang perempuan setengah baya.

Gunung Prau Dieng Suguhkan Pesona Kahyangan

“Bangun,… bangun…, ayo bangun kalau kepengen melihat pamandangan bagus! Udah jauh-jauh bayar. Kalau mau numpang tidur jangan di sini, di rumah nenek saja!,” begitu teriak salah satu petugas (ranger) ketika menjelang subuh.

Menyaksikan Pohon 'Berdarah' di hutan Gunung Halimun

Ketika bedog (golok) itu digoreskan sedikit saja ke kulitnya. Cairan berwarna merah darah itu membuai keluar. Seketika kami terpana melihatnya. Sambil menatap ujung jari telunjuk sang pemandu yang mencolek lelehan cairan itu.

Menikmati Cakrawala Biru di Laut Batu Hiu

“Bulan di Batu Hiu” adalah sebuah judul lagu pop Sunda. Mengisahkan sebuah janji cinta. Disaksikan bulan purnama dikeindahan Batu Hiu. Dari keindahan Batu Hiu itulah telah menginspirasi Doel Sumbang dalam mencipta.

Hari Kartini di Gunung Gede

Lagu Indonesia Raya pun bergema ketika ratusan pencinta alam memperingati hari Kartini di lembah Gunung Gede-Pangrango. Terasa haru, sebuah rasa nasionalisme yang patut ditiru oleh semua penduduk negeri ini.

Friday 20 May 2016

Ronda Malam di Gunung Guntur

Bres...bres... bres... linggis itu terus ditugarkan ke dinding batuan berpasir. Bapak setengah baya itu hirau terhadap lalu lalang para pejalan kaki. Ia tetap berada di bawah lubang galian. Sesekali ia jongkok memisahkan antara batu kerikil dan pasir. Sepertinya ia sedang mencoba mengais rezeki dengan menambang pasir.

Itulah sisi lain pemandangan dari kegiatan salah satu warga di kaki Gunung Guntur pagi itu. Ketika kami akan melakukan pendakian melalui jalur curug Citiis, beberapa waktu lalu. Aktivitas penambangan pasir kerap terjadi di kawasan itu. Bahkan telah menjadi mata pencaharian sebagian warga.
Pada awalnya rencana melakukan pendakian ke gunung yang berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat hampir saja batal. Karena sebagian mengundurkan diri. Alasannya merasa khawatir oleh kondisi cuaca buruk yang terus terjadi antara bulan Januari-Februari. Memang pada bulan itu intensitas hujan disertai petir cukup tinggi.

Hanya bertiga memutuskan tetap berangkat. Yaitu, Gaston, Hardi dan saya sendiri. Pertimbangannya sudah jauh-jauh hari, prepentif mempersiapkan segalanya. Keputusan tetap berangkat itu bukan bertujuan menantang alam. Tetapi menikmati alam. Karena alam tidak untuk ditantang.
Wajar saja timbul rasa khawatir yang disebabkan kondisi cuaca buruk. Gunung dengan ketinggian 2.249 mdpl itu. Dari lereng sampai puncak gunung jarang ditumbuhi pohon. Arealnya cukup terbuka. Apabila hujan sangat berisiko terhadap sambaran petir. Tetapi yang terpenting adalah tetap waspada dan berdoa.



Seiring berjalannya waktu. Ternyata yang berangkat bertambah menjadi sembilan orang. Keikutsertaan teman-teman lain memberikan semangat kepada kami bertiga. Jujur saja, saya pribadi merasa was-was. Oleh seringnya hujan turun disertai petir pada bulan itu. Memang musibah bisa terjadi kapan, dan di mana saja. Yang terpenting adalah keyakinan pada diri sendiri, dan percaya kepada Yang Maha Kuasa.



Diiringi doa, sekitar pukul 11.00 WIB pada Kamis malam. Dua mini bus meluncur menuju Kabupaten Garut. Melalui jalan Cibubur, Cilengsi, Jonggol terus ke Cianjur. Kami sengaja tidak lewat jalan tol karena dikhawatirkan terjebak kemacetan. Sebab jelang libur akhir pekan biasanya banyak warga Jabotabek liburan ke luar kota.
Memasuki daerah Cariu, Kabupaten Bogor kondisi jalanan sedikit bergelombang. Tetapi laju kendaraan masih dapat dipacu kencang. Tak terasa kota Cianjur dan Padalarang pun sudah terlewati. Kami tiba di Cimahi dan langsung masuk tol menuju arah Cilenyi, Bandung.


Di Cileunyi kami berhenti dua kali. Pertama kami istirahat di rest area  tol Cileunyi sekitar pukul 2.00 WIB dini hari. Kami kembali mampir ke sebuah mini market setelah keluar tol menuju arah Garut. Sambil menikmati tahu hangat. Salah satu makanan khas Sumedang yang banyak dijajakan di sepanjang jalan.
Kira-kira pukul 5.00 WIB pagi rombongan kami memasuki Tarogong, Garut. Dari jalan raya sudah terlihat panorama Gunung Guntur. Walaupun gunung sudah kelihatan. Kami masih harus bolak-balik mencari tahu menuju jalur pendakian. Maklum belum pernah ke Gunung Guntur. Tak butuh waktu lama kami tiba di Kampung Citiis atau disebut jalan PLP.


Sebenarnya untuk menuju jalur pendakian ke Gunung Guntur ada dua pilihan. Pertama lewat jalur curug Citiis. Berada di Kampung Citiis/PLP, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut. Sedangkan jalur kedua, bisa melewati jalur Cikahuripan dari Desa Pakuhaji daerah Samarang.
Untuk lewat jalur Citiis bisa berpatokan pada POM bensin yang berada di Desa Tanjung. Kalau dari arah Bandung berada di sebelah kanan. Sedangkan dari Garut kota berada di sebelah kiri. Jarak dari alun-alun Kota Garut ke Gunung Guntur sekitar 10 km.

Apabila dari Jakarta, Bekasi bisa naik bus jurusan Garut. Kemudian turun di terminal, dilanjutkan naik angkot jurusan Cipanas. Turun di Desa Tanjung dekat POM bensin. Atau di gerbang Kampung Citiis. Jika tidak membawa kendaraan bisa langsung naik ojek ke basecamp di rumah ketua Rt/Rw, sama saja.
Di basecamp ini pendaki wajib melaporkan diri. Dengan menuliskan nama-nama yang akan naik gunung. Meninggalkan foto copy KTP, serta mencatat nomor HP. Untuk koordinasi, pendaki juga akan membawa selembar kertas untuk melapor kembali ke petugas di pos 3.




Kira-kira pukul 6.00 WIB pagi akhirnya rombongan kami tiba di Kampung Citiis. Kami langsung lapor minta ijin kepada Nandang, ketua Rt 02. Ternyata di rumah kediaman ketua Rt sudah dipenuhi para pendaki lain. Bahkan di mesjid juga banyak pendaki yang sedang istirahat dan numpang tidur.
Bagi yang membawa kendaraan motor atau mobil. Bisa diparkir dititipkan dekat mesjid dan di basecamp rumah kediaman ketua Rt dan Rw setempat. Cukup aman katanya, walaupun harus nginep seperti diutarakan Nandang kepada kami.





Setelah berdoa bersama dipimpin Ipin dan Gaston. Sekitar pukul 7.00 WIB kami berangkat. Perjalanan normal menuju puncak Gunung Guntur bisa ditempuh 1 sampai 2 jam. Untuk mempercepat waktu tempuh para pendaki bisa numpang truk penambang pasir yang sering lalu lalang.


Begitu pun rombongan kami, dapat sedikit ngirit energi diantar mendekati areal galian pasir. Sayang, kendaraan sejenis mini bus tidak bisa melanjutkan perjalanan lebih jauh. Disebabkan kondisi jalan sangat buruk. Kecuali truk pasir karena mempunyai roda ban tinggi.


Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Menyusuri jalanan berbatu bercampur pasir. Di jalur ini akan dijumpai batu-batu besar dan bekas galian pasir. Di kaki gunung, sebelah selatan tampak dinding lempengan lapisan batuan. Memanjang nyambung ke lereng  Gunung Guntur. Kemungkinan bekas aliran lahar letusan pada masa lalu.  
Yang menarik pemandangan ke atas gunung semakin terbuka. Kabut putih yang menyelimuti puncak gunung lambat laun mulai sirna. Sang surya pagi itu cukup cerah menyinari puncak Gunung Guntur. Rerumputan membentuk padang savana mulai terlihat indah. Sehingga teman-teman semakin bersemangat melangkahkan kaki agar cepat bisa menggapai puncaknya.



Tak lama kami memasuki jalur menuju hutan. Di sepanjang jalur ini banyak ditumbuhi pohon rindang. Daun-daunnya yang hijau memberi teduh kepada para pendaki. Di jalur ini juga akan dijumpai pula warung-warung dan tempat untuk istirahat.
Menjelang tiba di pos 2 gemuruh aliran curug Citiis mulai terdengar mengiringi perjalanan kami. Dari rimbunya pohon terdengar suara kicau burung-burung. Seperti turut menyambut kehadiran kami. Sekaligus memberitahukan tentang perjalanan akan lebih sulit. Padahal rasa lelah mulai mendera. Keringat pun terus bercucuran membasahi sekujur tubuh.


Benar juga. Setelah melewati pos 2, pendakian semakin berat. Jalur jalan berbatu serta curam. Dengan tingkat kemiringan antara 45 sampai 75 derajat. Banyak para pendaki berjibaku menaklukkan medan jalur ini. Harus diwaspadai pula ketika kaki-kaki meniti bebatuan. Karena rawan longsor, jatuh membahayakan orang di bawahnya.
Sebenarnya lewat jalur curug Citiis jaraknya tidak terlalu jauh. Tetapi jalurnya lumayan menantang. Membutuhkan adrenalin untuk melewatinya. Tak heran, Gunung Guntur sering disebut Semeru-nya Jawa Barat. Woh..! Dagu ketemu lutut memang terjadi. Sebuah tantangan menarik bagi para pecinta alam.
Hari semakin siang. Mendekati pos 3, pohon-pohon mulai jarang. Sinar matahari mulai terasa menyengat membakar badan. Dari lembah masih terdengar gemuruh suara aliran curug Citiis. Seorah bersorak memberi semangat kepada kami untuk tidak menyerah.


Akhirnya kami tiba di pos 3 sekitar pukul 10.00 WIB siang. Ketua rombongan Ipin dan Gaston, sigap melapor kepada petugas jaga. Ada pesan dari petugas. Yaitu, kami agar tetap menjaga barang bawaan masing-masing. Karena sering terjadi pencurian yang menyamar sebagai pendaki, katanya.
Tampak di sekitar pos dan di lereng gunung sudah banyak tenda berdiri. Pihak pengelola Gunung Guntur melarang para pendaki berkemah di puncak gunung. Sebab apabila turun hujan disertai petir akan sangat berbahaya. Bahkan larangan itu terpasang di spanduk berukuran besar.

Setelah mendapatkan lokasi yang cocok untuk berkemah. Langsung saja kami bersama-sama mendirikan dua tenda. Tidak butuh waktu lama dua kemah pun berdiri saling berhadapan.  Sedangkan Naomi dan Henda, dengan cekatan kompak menjadi juru masak. Sementara Adam dan Anggit kebagian tugas mengambil air di lembah untuk persediaan.
Pada intinya kami selalu saling kerjasama dalam berbagai hal. Memang itu yang seharusnya dilakukan para pendaki. Berkat kerjasama tim, tidak berapa lama kami pun bisa menyantap makanan. Mengisi perut yang sudah keroncongan.
Matahari semakin condong ke barat. Puncak gunung tampak mulai diselimuti kabut putih. Terlihat di sebelah selatan awan hitam mulai mendekat. Benar saja, sekitar pukul 4.00 WIB sore hujan pun turun diiringi suara gemuruh guntur disertai kilatan petir.
Agar tidak ada hal-hal yang diinginkan. Saya meminta kepada teman-teman untuk mematikan handphone. Sebab di tempat terbuka sinyal  handphone rentan mengundang sambaran kilat petir. Ini jelas sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa.


Semakin sore hujan semakin lebat. Di tengah guyuran hujan lebat. Salah satu tenda mengalami kebocoran. Kemungkinan ada kesalahan sewaktu pemasangannya. Terpaksa kami berdesak-desakan di dalam tenda satunya lagi.
Siang akan berganti malam. Alam malam mulai hadir membawa hawa dingin. Mulai menusuk ke pori-pori kulit. Sambil nunggu hujan reda kami asyik ngobrol ditemani kopi panas, untuk menghangatkan perut. Sekitar pukul 9.00 WIB malam hujan pun reda.
Pandangan jauh ke lembah sebelah timur. Kota Garut kerlap-kerlip memancarkan kilau cahaya seperti bertabur batu permata. Malam pun semakin larut. Nyanyian binatang malam terdengar bersahutan. Semilir angin menerpa rerumputan. Dia angkasa bulan dan bintang mulai memancarkan cahaya. Alam raya seolah berdoa kepada Sang Pencipta. Sungguh panorama yang indah.
Jelang tengah malam, kami berbagi tugas melakukan ronda. Giliran pertama Anggit dan Ipin mulai pukul 12.00- 02.00 WIB. Dilanjutkan Saya dan Gaston sampai pagi. Sedangkan yang lain pulas untuk menggapai mimpinya masing-masing.




Pagi hari. Satu satu persatu para pendaki mulai bangun, keluar dari tendanya. Untuk menikmati udara pagi dan melihat kemunculan sunrise. Sayang, sang surya sedikit malu-malu bersembunyi di balik awan putih. Tetapi pancaran cahayanya tetap hadir menyapa para pendaki. Sekaligus memberikan kehangatan dan cerah pada alam sekitarnya.
Pukul 9.00 WIB pagi. Koki dadakan, Naomi dan Hardi dibantu Hendra kembali beraksi menyiapkan sarapan pagi. Wahhh..., ternyata racikan masakan mereka pagi itu lebih manyos, meminjam istilah Pak Bondan. Sehingga kami dapat menikmati hidangannya. Sekaligus memberi energi untuk perjalanan pulang.
Selesai sarapan pagi, kami beres-beres untuk turun gunung. Perjalanan pulang ternyata lebih cepat. Walaupun perjalanan turun tidak bisa dibilang enteng. Karakter jalur berbatu yang curam butuh konsentrasi dan kewaspadaan. Bahkan Adam, yang bertubuh bongsor harus kerja keras menuruni batu-batu curam itu. Tetapi ia tetap semangat.

Menjelang tiba di pos 2. Kami melihat pemandangan kurang sedap di jurang dekat pinggir kali. Ada seongok gunukan sampah. Kemungkinan sampah-sampah itu dibuang oleh oknum pendaki. Ini sangat disayangkan. Seharusnya sampah itu dibawa turun ke basecamp. Disimpan ke tempat sampah yang sudah ditentukan.
Kira-kira pukul 11.00 WIB siang. Rombongan kami tiba di basecamp. Lancarnya pendakian dan ketika turun gunung. Ini berkat kerjasama solid antar teman-teman. Saling bantu, saling suport, telah menjadi amunisi. Kekompakan tim sangat berharga bagi kami selama dalam melakuan pendakian. Sehingga kami bisa kembali pulang ke Jakarta dengan selamat. Mantap!!!

Monday 9 May 2016

Geliat Wisata di Bendungan Waduk Jatigede Sumedang

...tempat urang daratang neang impian, kokojayan ngudag-ngudag pangharepan, kabagjaan kahayang sing karandapan, lalugina ulah ukur saliwatan... 
(Tempat kita pada datang mencari impian, berenang-renang mengejar-ngejar harapan, kegembiraan kemauan supaya terlaksanakan, kebahagiaan tidak hanya sementara)
Bait di atas adalah salah satu syair tembang pop Sunda yang berjudul “Jatigede” karya Bah Duyeh, salah satu seniman Sunda yang lahir di Cibungur, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. Latar belakang Waduk Jatigede telah menjadi inspirasinya untuk berkarya mencipta lagu. Ia melihat keberadaan bendungan Waduk Jatigede sekarang dan di masa mendatang akan dikunjungi banyak orang untuk mencari harapan dan mengejar asa.
Setelah resmi dilakukan pengisian air (impounding) pada 31 Agustus 2015. Waduk yang memiliki kapasitas 980 juta meter kubik air. Kini volume ketinggian air waduk Jatigede sudah mencapai batas yang telah ditentukan.

Meningkatnya genangan air bendungan Waduk Jatigede itu menjadi daya tarik warga untuk datang melihat pemandangannya sekaligus berfoto-foto. Mereka tidak hanya datang dari dekat bendungan. Terutama yang mempunyai hubungan keluarga dengan warga di sekitar. Tetapi ada juga yang datang dari Bandung, Garut, Tasikmalaya, Indramayu, Majalengka, Cirebon, bahkan dari Jakarta.
Kehadiran warga tidak hanya ramai berdatangan ke dekat tembok bendung utama. Terletak di Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede. Tetapi  ke lokasi lain, misalnya kewilayah Kecamatan Cisitu, Darmaraja dan Wado.

Dari pengamatan penulis ada beberapa tempat yang banyak didatangi pengunjung. Misalnya di Desa Pakualam, Cibogo, Jatibungur, Kecamatan Darmaraja, dan Blok Tanjungduriat di Desa Pajagan, Kecamatan Cisitu. Bahkan di akhir pekan kehadiran pengunjung jumlahnya semakin meningkat.
Antusias pengunjung berdatangan setiap hari. Menjadi peluang bisnis baru bagi warga di sekitar bendungan Jatigede. Salah satunya dengan usaha mendirikan warung-warung dan menyewakan perahu-perahu dan rakit. Misalnya di Jatibungur, kini sudah berjejer warung menjajakan makanan. Bahkan di lokasi ini juga sudah tersedia beberapa perahu, rakit, dan sepeda air yang siap disewakan kepada para pengunjung.
Bahkan setiap hari saya melihat puluhan pemancing berdatangan dari pagi hingga sore. Ada juga yang mancing pada malam hari dengan menyewa rakit bambu. Mereka ada yang datang perorangan dan juga rombongan.

Untuk lebih menarik pengunjung, warga di Jatibungur memberi nama lokasi wisata air ini sebagai “Banyu Bungur”, mengambil  dari nama asli kampung itu yakni, Cibungur. Bagi Anda yang ingin keliling naik perahu cukup membayar Rp 10.000,- sekali putaran. Bagi yang hobi mancing Anda bisa menyewa rakit bambu  Rp 10,000/hari. Sedangkan untuk sewa sepeda air hanya Rp 5,000,- per jam.
Lokasi wisata air di Desa Jatibungur, Kecamatan Darmaraja cukup strategis. Bisa jadi nantinya akan menjadi salah satu spot wisata air yang menarik. Hal ini bukan tanpa alasan, pertama adalah adanya dukungan akses jalan cukup mudah. Menghubungkan dari kota Bandung-Sumedang ke arah Wado, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

Kedua dari Jatibungur lokasinya cukup terbuka apabila melihat ke arah timur akan terlihat pemandangan alam bentangan Gunung Jagat/Cakrabuana dan view Gunung Ciremai bisa menjadi background yang menarik bagi para penikmat wisata alam.
Tidak hanya itu, dari tempat ini di pagi hari apabila udara cerah bisa melihat sunrise. Munculnya sang surya dari balik kemegahan Gunung Ciremai yang berdiri kokoh. Seolah menjadi saksi bisu terusirnya ribuan manusia demi membangun negeri. Dari tanah leluhur kerajaan Tembong Agung, cikal bakalnya kerajaan Sumedang Larang.
Tetapi yang lalu biarlah berlalu dengan waktu. Apabila ada masalah yang belum beres dari dampak sosial bendungan. Pemerintah mempunyai tanggungjawab moral untuk menyelesaikan persoalan sebaik-baiknya. Jika membiarkan masalah warga tidak diselesaikan dengan baik. Maka akan menjadi dosa besar pemerintah terhadap rakyatnya.

Dan yang utama, bendungan terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Jatiluhur. Bisa cepat memberikan manfaat banyak, bernilai positif bagi masyarakat. Sumberdaya airnya tidak saja digunakan untuk pembangkit tenaga listrik atau irigasi dan pesawahan. Tetapi dapat memberi fungsi lain sebagai pemicu kebangkitan ekonomi di kawasan tersebut.
Secara pribadi saya melihat keberadaan Waduk Jatigede mempunyai prospek bagus. Cukup menjanjikan di masa mendatang. Akan memberika pesona baru terurama bagi perkembangan wisata di Kabupaten Sumedang khususnya, Jawa Barat pada umumnya.
Menurut subuah sumber, Perhutani di Puncakdamar Blok Baros akan mengembangkan ekowisata alam  dengan memanfaatkan area hutan di sekitar waduk. Alternatif lain obyek wisata yang direncanakan oleh pengelola waduk antara lain akan dibangun kawasan offroad, camping ground, agrowisata, waterboomm, hotel, zona pancingan, ataupun wisata seni-budaya.
Bahkan beberapa waktu lalu untuk pemanfaatan sumberdaya air bendungan. Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan sudah tebar 2.5 juta benih ikan lokal di bendungan Jatigede. Targetnya akan ditebar 10 juta benih ikan sisanya akan dipenuhi setiap tahun. Adapun jenis-jenis ikan yang ditebarkan diantaranya: Ikan Patin, Ikan Tambakan, Ikan Emas, Ikan Kancra, Ikan Tawes, Ikan Nilem, Ikan Beureun Panon, Ikan Baung, Ikan Grasscrap, Ikan Bandeng dan Udang Galah.
Abah Hadri, mantan kokolot (ketua kampung) Cibungur. 

Dengan ditebarnya berbagai jenis ikan di bendungan tersebut diharapkan kelak bisa dipanen. Sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat di sekitar. Sekarang pun masyarakat bisa bebas memancing atau menjala ikan.
Cuma sayang ketika saya mencoba ikut keliling naik perahu bersama Hadri, mantan kokolot (ketua kampung) di Cibungur. Saya melihat ada warga sedang mencari ikan dengan jerat jaring memanjang (horizontal) di dekat Kampung Lameta. Apabila jarak lubang jaringnya rapat-rapat. Tentu akan mempercepat kepunahan ikan-ikan yang baru saja ditebar. Hal ini secara pribadi saya tidak setuju, berbeda dengan cara dipancing atau dengan dikecrik (dijala).
Dengan kejadian itu diharapkan dinas bersangkutan secepatnya membuat Perda yang mengatur  masalah ini. Tidak hanya itu, adanya penyuluhan dan pembinaan kepada warga sekitar dalam mengembangkan potensi wisata tentu sangat dibutuhkan. 

Areal pesawahan di Cibungur sebelum seluruhnya tergenang.

Lokasi di Desa Jatibungur sebelum tergenang

Rute ke Waduk Jatigede
Bagi yang hobi wista alam dan travelling  tidak salahnya berkunjung ke obyek wisata  Waduk Jatigede di Kabupaten  Sumedang, Jawa Barat.  Lokasi wisata baru ini memang menjanjikan walaupun masih dalam tahap pembenahan. Tetapi cukup menarik untuk dijelajah. Jadi tidak salahnya mencoba berkunjung ke tempat baru ini, akses jalan cukup mudah. Berikut rute menuju bendungan Waduk Jatigede:
*dari Jakarta bisa melalui jalan Tol Jakarta-Cikampek, Cipularang-Cileunyi Bandung terus ke arah Sumedang di Jalan 11 April belok kanan menuju Situraja, Darmaraja. Atau lewat jalan lingkar luar kota Sumedang sehabis terminal bus akan menemukan bundaran Alamsari,  ambil jalan lurus menuju Situraja.

*Bisa juga dari Jakarta melalui jalan Tol Cipali. Keluar di daerah Subang terus menuju arah Sumedang. Dilanjutkan ke arah Tomo-Tolengas-berakhir di Cijeungjing.
* Jika naik bus dari Jakarta bisa naik bus besar jurusan Kampung Rambutan-Sumedang,Wado. Turun di Warung Ketan, Kecamatan Situraja terus ke arah Pajagan ada petunjuk arah ke bendungan Jatigede. Anda bisa juga memilih lokasi lain yang berada di Kecamatan Darmaraja, yaitu di Desa Pakualam, Cibogo atau Jatibungur.
* Sedangkan dari Tasikmalayabisa naik bus 3/4 jurusan Tasikmalaya-Wado-Cikampek.
* Jika naik bus dari terminal Bekasi atau Cikarang bisa naik bus ¾,jurusan Wado-Cikarang-Bekasi dengan tarif Rp 45,000,- Rp 50,00-,- melewati Kabupaten Purwakarta dan Subang.
* Dari Cirebon, Kuningan, Majalengka dan Indramayu, bisa memilih jalan arah Tomo-Tolengas dan berlanjut ke Cijeungjing Jatigede. Dari arah ini bisa langsung menuju gerbang utama tembok bendungan.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan sedikit informasi dan bisa bermanfaat bagi para travelling. Selalu untuk berdoa dan berhati-hati dalam perjalanan.